BNPT Benarkan AS Sanksi 5 WNI Fasilitator Keuangan ISIS
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) membenarkan informasi terkait lima warga negara Indonesia (WNI) yang disanksi Amerika Serikat.
TRIBUNGORONTALO.COM, Jakarta - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) membenarkan informasi terkait lima warga negara Indonesia (WNI) yang disanksi Amerika Serikat karena diduga menjadi fasilitator keuangan kelompok terorisme Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS.
Direktur Pencegahan BNPT Ahmad Nurwakhid mengatakan bahwa kelima WNI tersebut terlibat foreign terrorist fighter (FTF) ISIS.
“Di antara mereka ada yang masih dalam penjara dan ada pula yang sudah keluar,” kata Nurwakhid saat dikonfirmasi, Selasa (10/5/2022).
Nurwakhid menilai, pencantuman kelima nama yang disanksi merupakan bagian dari pencegahan pendanaan terorisme.
Menurutnya, hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Terkait dengan sanksi tersebut, Nurwakhid menuturkan, pemerintah dalam hal ini BNPT akan menindaklanjuti sesuai dengan otoritas dan wewenang yang ada pada UU Nomor 9 Tahun 2013.
Di mana BNPT menjadi salah-satunya lembaga yang terlibat di dalamnya, khususnya melalui mekanisme Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Terorisme (DTTOT). Selain itu, BNPT akan berkoordinasi dengan lembaga terkait.
“Dalam kasus FTF, BNPT sejatinya sudah memiliki satgas penanggulangan FTF yang dipimpin oleh Kepala BNPT sebagaimana keputusan Kemenko Polhukam,” imbuh dia.
Dikutip dari Kompas TV yang melansir Antara, AS menjatuhkan sanksi kepada lima orang Indonesia yang mereka sebut sebagai jaringan fasilitator keuangan ISIS dalam melakukan teror.
Kelima orang ini beraktivitas di Indonesia, Suriah dan Turki untuk mendukung milisi itu di Suriah.
Departemen Keuangan AS dalam pernyataannya menuduh kelimanya berperan dalam memfasilitasi perjalanan anggota ISIS ke Suriah dan wilayah operasi mereka yang lain. Selain itu, menurut mereka, kelimanya melakukan pengiriman dana untuk mendukung kegiatan milisi tersebut di kamp-kamp pengungsi Suriah.
Depkeu AS mengatakan jaringan tersebut menghimpun dana di Indonesia dan Turki untuk aktivitas ISIS.
Dalam keterangan itu juga disebutkan, sebagian penggunaan dana tersebut digunakan untuk membiayai penyelundupan anak-anak dari kamp-kamp dan mengirim mereka ke para petempur ISIS sebagai calon anggota.
"Amerika Serikat, sebagai bagian dari Koalisi Global untuk Memerangi ISIS, berkomitmen untuk mencegah ISIS menghimpun dan memindahkan dana lintas yurisdiksi," kata Brian Nelson, Wakil Menteri Keuangan AS untuk Terorisme dan Intelijen Keuangan, Selasa (10/4/2022).
Ericsson Tersandung Skandal ISIS
Editor Palupi Annisa Auliani ERICSSON, perusahaan raksasa peranti telekomunikasi, kemungkinan harus membayar denda baru ke Kementerian Kehakiman Amerika Serikat.
Kali ini untuk dugaan suap ke kelompok Negara Islam di Irak (ISIS). CEO Ericsson, Borje Ekholm, mengakui dalam sebuah wawancara surat kabar pada Februari 2022 bahwa beberapa karyawan Ericsson kemungkinan telah menyuap anggota ISIS untuk dapat melewati daerah yang dikuasai kelompok tersebut di Irak.
Pengakuan itu dibuat sebelum publikasi laporan International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) yang mengungkapkan bahwa penyelidikan internal Ericsson dari 2019 tidak pernah dipublikasikan.
Penyelidikan internal telah mengidentifikasi kemungkinan korupsi antara 2011 dan 2019 dalam operasi perusahaan tersebut di Irak.
Dalam pernyataan pendapatan kuartalan perusahaan, Kamis (14/4/2022), Ekholm mengatakan bahwa Ericsson berkomitmen penuh untuk bekerja sama dengan Kementerian Kehakiman AS.
"Penyelesaian masalah ini dapat mengakibatkan berbagai tindakan oleh Kementerian Kehakiman AS, dan mungkin termasuk pembayaran moneter tambahan, yang besarnya saat ini belum dapat dipastikan," kata Ekholm, seperti dikutip AFP. Saham perusahaan berbasis di Swedia tersebut kehilangan hampir seperempat nilainya sejak Februari 2022.
Sebelumnya, Ericsson telah setuju membayar denda satu miliar dollar AS kepada otoritas AS untuk menutup kasus korupsi di Djibouti, China, Vietnam, Indonesia, dan Kuwait pada 2019.
Ini merupakan bagian dari perjanjian penangguhan penuntutan (deferred prosecution agreement atau DPA).
Dalam pernyataannya, Ekholm mengatakan perusahaannya ada di posisi terbatas untuk dapat mengatakan sesuatu terkait kasus di Irak ini.
Namun, pada Maret 2022, dia telah menyebutkan tentang kasus sangat serius yang melibatkan perilaku memalukan dan tak dapat diterima di masa lalu.
Laporan pendapatan Ericsson untuk kuartal I/2022 mencatatkan laba bersih turun delapan persen menjadi 2,9 miliar kronor Swedia, setara dengan 307 juta dollar AS atau sekitar Rp 4,4 triliun menggunakan kurs pada Kamis.
Sebelumnya, Senin (11/4/2022), Ericsson mengumumkan bahwa mereka akan menyisihkan 900 juta kronor untuk menambal pukulan finansial akibat penangguhan kegiatannya di Rusia selepas invasi Rusia ke Ukraina.
Meski laba bersih perusahaan tercatat turun, penjualan Ericsson di kuartal I/2022 melebihi ekspektasi. Namun, laba operasional Ericsson senilai 4,7 miliar kronor juga lebih rendah dari perkiraan analis yang sebelumnya disurvei Bloomberg.
Tidak cukup Ericsson pada Rabu (2/3/2022) telah menyatakan bahwa pihak otoritas AS menyebut pengungkapan perusahaan tentang penyelidikan internal atas perilaku di Irak, termasuk dugaan suap kepada kelompok ISIS, tidak memadai.
Seturut pernyataan tersebut, saham Ericsson langsung anjlok lebih dari 12 persen pada jeda perdagangan bursa Stockholm pada hari itu.
Sebelumnya, valuasi Ericsson juga sudah terpukul oleh investigasi media yang tergabung dalam International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ).
Investigasi mendapati, Ericsson tidak pernah mempublikasikan hasil penyelidikan internal mereka pada 2019.
Selain itu, investigasi memunculkan dugaan korupsi telah terjadi selama bertahun-tahun operasional Ericsson di Irak, termasuk relasi perusahaan dengan ISIS. ICIJ mengungkap hasil investigasi pada Minggu (27/2/2022), tetapi Ericsson sudah lebih dulu merilis pernyataan yang mengantisipasi hal itu.
Penyelidikan internal perusahaan diserahkan ke otoritas AS pada Februari 2022. Namun, Kementerian Kehakiman AS merespons pada Selasa (1/3/2022) dengan menyatakan laporan itu tidak cukup.
Tak hanya itu, Kementerian Kehakiman AS pun menyebut Ericsson telah melanggar DPA karena tidak membuat pengungkapan lanjutan setelah kesepakatan itu dibuat.
Kehilangan momentum pada pertengahan 2010, terutama karena kalah bersaing dengan Huawei dari China dalam perebutan posisi teratas global untuk penyedia peranti jaringan telekomunikasi, Ericsson meluncurkan rencana besar pada 2017 untuk pulih.
Bertarung dengan Huawei dan Nokia dari Finlandia, Ericsson sedang berupaya membangun jaringan 5G di seluruh dunia, menggunakan momentum ketegangan politik antara Amerika Serikat dan China atas teknologi tersebut. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "AS Sanksi 5 WNI Fasilitator Keuangan ISIS, Ada yang Sedang Dipenjara dan Sudah Bebas"