Kebakaran Hutan Berpotensi Terjadi, Walhi: Korporasi Kuasai 33,5 Juta Hektare Kawasan Hutan

Daya ekosistem hujan di Indonesia terus menurun seiring eksplorasi dan eksploitasi kawasan. Bencana ekologis seperti kebakaran hutan.

Editor: Lodie Tombeg
Tribunnews
Petugas berupaya memadamkan kebakaran hutan di Ogan Ilir, Sumatera Selatan, 5 September 2015. Kabut asap kebakaran hutan dan lahan mulai menyebar ke negara tetanga di Asia Tenggara. 

TRIBUNGORONTALO.COM, Jakarta - Daya ekosistem hujan di Indonesia terus menurun seiring eksplorasi dan eksploitasi kawasan. Bencana ekologis seperti kebakaran hutan diperkirakan masih berlangsung di tahun 2022. 

Kepala Kampanye Anti Industri Ekstraktif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Hadi Jatmiko mengatakan tahun 2022 bencana ekologis masih akan terjadi.

Pada 2021 saja telah terjadi 2.208 kejadian bencana alam hidrometeorologi seperti banjir, diikuti puting beliung, dan tanah longsor.

Menurut, Hadi, bencana ini tidak lepas karena kawasan hutan yang dikuasai korporasi.

"Ada 33,5 juta hektare kawasan hutan kita dikuasai swasta maupun BUMN. Ini yang menyebabkan kerusakan dan membuat terjadi bencana ekologis," tutur Hadi dalam sebuah webinar, Rabu (9/2/2022).

Ia menekankan yang harus diwaspadai ke depan kemarau panjang karena identik dengan terjadinya kasus kebakaran hutan. Hadi menilai penguasaan kawasan hutan oleh korporasi membuat karhutla sulit untuk dihindari.

"Memang penguasaan hutan di lahan gambut ini menjadi salah satu penyebab terjadinya kebakaran. Dalam beberapa kasus dari 2014 sampai 2019 kebakaran hutan didominasi perusahaan tanaman industri," tukasnya.

Walhi mencatat komoditas kelapa sawit menjadi berkontribusi besar terhadap karhutla karena tingginya ekspansi bisnis. Produk sawit secara besar di dalam negeri ini seiring dengan kebijakan pemerintah untuk mencapai target energi baru terbarukan.

"Program pemerintah terkait biodiesel berbahan baku sawit ini hanya memenuhi hingga B50. Sampai 50 saja sudah mengancam kebakaran apalagi sampai 100," terang Hadi.

Ketua Himpunan Pengusaha Kosgoro DKI Syafi Djohan mengatakan, saat ini, hampir semua negara memiliki ketergantungan kepada bahan bakar fosil (fossil fuel).

"Kita semua ketahui fossil fuel non-renewable dan tak ramah lingkungan. Ini adalah momen yang tepat untuk Indonesia menjadi negara yang energy independent melalui sawit," tutur Syafi.

"Kita harus mengurangi ketergantungan kita terhadap Impor BBM. Saya tidak melihat kenapa kita tidak bisa menjadi energy exportir dan bukan energy importir, karena kita telah dikaruniai dengan produk yang renewable dan sangat efisien, yaitu sawit,” tambahnya.

Syafi Djohan berharap pemerintah bisa melindungi industri andalan ini dan juga mengambil langkah-langkah konkret untuk terus memajukan industri sawit.

Dia juga menambahkan, menurut data pemerintah, ada sekitar 20 juta manusia yang hidupnya bergantung kepada industri sawit. "Kami melihat adanya tantangan dari negara-negara barat yang diskriminatif menyikapi produk unggulan Indonesia," katanya.

Menurutnya, melalui penerapan program B-50, Indonesia bisa menghemat 15 miliar dolar AS. Hal ini juga akan berdampak sangat signifikan terhadap Current Account Deficit (CAD) Indonesia yang saat ini berada di posisi 25 miliar dolar AS.

Sumber: Tribunnews.com
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved