Warga Gorontalo Tagih Utang Rp 40 M dari Zaman Presiden Soekarno, Rencana Gugat Jokowi
Oni Rahman, warga Molosifat, Kota Barat, Kota Gorontalo berencana menggugat Presiden Joko Widodo terkait surat utang negara.
TRIBUNGORONTALO.COM, Gorontalo - Oni Rahman, warga Molosifat, Kota Barat, Kota Gorontalo berencana menggugat Presiden Joko Widodo terkait surat utang negara (SUN) Republik Indonesia (RI) pada tahun 1950, zaman Presiden Soekarno.
Adapun rencana itu disampaikan Oni saat ditemui siang tadi di kediaman keluarganya di Moodu, Kota Gorontalo pada Kamis (3/2/2022).
Kepada TribunGorontalo.com Oni menjelaskan, bahwa ayahnya yang merupakan keturunan Tionghoa itu membeli SUN Rp 60 ribu.
Pinjaman itu, kata dia, akan dikembalikan negara setiap tahun. Terhitung, kata dia, sudah sepuluh kali negara mengembalikan pinjaman itu kepada ayahnya bernama Tan Kia Dek. Sayangnya, setelah sepuluh kali melakukan pembayaran, negara lalu berhenti mengembalikan dana tersebut.
Sebelumnya, gugatan kepada Jokowi ini juga disampaikan oleh warga Padang, Sumatera Barat. Kasus tersebut bahkan sudah bergulir di pengadilan negeri setempat. Seperti dikutip dalam kompas.com, bahwa peminjaman tersebut berawal saat pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Darurat RI Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pinjaman Darurat.
Baca juga: Tokoh Masyarakat dan Adat Kaltim Temui Jokowi, Ini Aspirasi soal Pembangunan IKN
Oni menganggap, bahwa kasus di Padang tersebut juga serupa dengan apa yang ia alami. Baik bukti penerimaan uang pinjaman yang ditandatangani oleh Sjafruddin Prawiranegara selaku Menteri Keuangan tahun 1950, serta bunga yang diberikan kala itu adalah 3 persen per tahun seperti peraturan UU yang ada.
“Makanya saya juga mau menggugat Pak Jokowi sebagai presiden itu, gitu. Untuk mempertanggungjawabkan utang negara yang dibilang kedaluwarsa itu,” ungkap Oni.
Ada sedikitnya Rp 40 miliar utang yang harus dikembalikan oleh presiden kepada ahli waris.
Oni bercerita, bahwa keluarganya tidak mengetahui perihal pinjaman negara itu kepada ayahnya. Dokumen obligasi yang berjumlah 60 lembar itu baru ia temukan pada 1990. Karena menganggap bahwa negara mesti bertanggung jawab atas apa yang keluarganya berikan, maka pada 1995 ia mengajukan permohonan pembayaran itu kepada Wakil Presiden.
Namun, surat yang diajukan pada 12 September 1995 itu dijawab oleh Asisten Wakil Presiden RI Urusan Pengawasan, Suprapto. Dalam surat yang dikeluarkan pada 4 Oktober 1995, Suprapto menjelaskan bahwa permohonannya tidak dapat dipenuhi karena sesuai dengan keputusan Menteri Keuangan No. 466a/KMK.013/1978, obligasi yang tidak diuangkan hingga batas 28 November 1983, telah kadaluarsa. Artinya, pemilik obligasi tersebut kehilangan hak untuk mendapatkan pembayaran atas pinjaman RI 1950 tersebut.
“Tapi siapa tau ini bisa terbantu. Sedangkan apa yang dilakukan oleh negara mengenai uang BLBI ini juga tetap disita. Begitu juga Lapindo mencapai Rp 2 triliun lebih, tetap disita. Jadi punya kami ini juga siapa tahu bisa karena memang waktu itu telah berkontribusi untuk negara,” ungkapnya.
Saat ini Oni tengah mempersiapkan gugatan ke pengadilan Gorontalo. Pihaknya kata dia akan mencoba untuk berkoordinasi dan memperhitungkan langkah apa yang akan ditempuh nantinya. “Makanya kami ini masih mencoba berkoordinasi. Karena (dokumen) ini juga asli,” tegas Oni. (wan)
