Berita Gorontalo
Ditinggal Anak Muda, Penggunaan Bahasa Gorontalo Menurun di Semua Kabupaten
Bahasa Gorontalo menghadapi ancaman nyata. Penurunan jumlah penutur dan frekuensi penggunaan bahasa daerah ini terdeteksi di seluruh kabupaten.
TRIBUNGORONTALO.COM. Gorontalo — Bahasa Gorontalo menghadapi ancaman nyata. Penurunan jumlah penutur dan frekuensi penggunaan bahasa daerah ini terdeteksi di seluruh kabupaten.
Hal itu berdasarkan hasil penelitian Prof. Moon Hidayati Otoluwa, seorang ahli pembelajaran bahasa dan peneliti di Pusat Studi Pelestarian Bahasa dan Sastra Daerah Universitas Negeri Gorontalo (UNG).
Dalam seminar yang digelar oleh pusat studi tersebut pada Sabtu (13/9/2025) kemarin, Moon memaparkan data terkini yang menunjukkan penurunan signifikan.
Baca juga: 4 Jenderal Purnawirawan TNI Digadang Jadi Menko Polkam Baru, Bakal Dilantik Prabowo Sore Ini
Di Kabupaten Bone Bolango, frekuensi penggunaan bahasa Gorontalo tercatat sebesar 79 persen.
Sementara di Kabupaten Gorontalo dan Boalemo, angkanya sama-sama berada di 64 persen.
Pohuwato mencatat 55,5 persen, dan Gorontalo Utara menjadi wilayah dengan angka terendah, yakni 42,1 persen.
“Bahasa Gorontalo itu merupakan identitas budaya, penyimpan nilai, dan jati diri,” ujar Moon dalam paparannya.
Moon menjelaskan bahwa penurunan ini disebabkan oleh beberapa faktor utama.
Pertama, jumlah penutur aktif semakin berkurang. Kedua, minat terhadap bahasa asing meningkat, terutama di kalangan generasi muda.
Ketiga, eksposur terhadap bahasa Gorontalo dalam kehidupan sehari-hari semakin menurun.
Ia mencontohkan penggunaan bahasa Gorontalo dalam prosesi adat seperti ijab kabul yang kini tergantikan oleh bahasa Indonesia atau bahkan bahasa asing.
Fenomena ini paling terasa di wilayah perkotaan, khususnya Kota Gorontalo.
Menurut Moon, kaum muda di kota lebih memilih menggunakan Bahasa Indonesia atau Melayu Manado dalam komunikasi harian.
Akibatnya, bahasa Gorontalo nyaris tak terdengar lagi dalam interaksi sosial mereka.
“Bahasa Gorontalo semakin sulit dipertahankan karena tidak diajarkan di sekolah,” tegas Moon.
Seminar tersebut juga menghadirkan Prof. Dr. Yayat Sudaryat, pakar pembelajaran bahasa daerah dari Program Studi Pendidikan Bahasa Sunda Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.
Yayat berbagi pengalaman tentang praktik baik penerapan kurikulum Bahasa Sunda di sekolah-sekolah Jawa Barat, yang dinilai berhasil menjaga eksistensi bahasa daerah di tengah arus modernisasi.
Kepala Pusat Studi Pelestarian Bahasa dan Sastra Daerah UNG, Suleman Bouti, turut menyampaikan potret nyata kondisi pembelajaran bahasa Gorontalo di sekolah.
Ia menyoroti belum adanya kurikulum yang baku, terstandar, dan menyeluruh untuk pengajaran bahasa Gorontalo di tingkat SD dan SMP.
“Dari seminar ini kami akan merumuskan rekomendasi langkah strategis untuk mewujudkan kurikulum bahasa Gorontalo yang sesuai dengan kebutuhan lokal sekaligus berorientasi pada standar pendidikan nasional,” ucap Suleman.
Ia menegaskan bahwa meskipun bahasa Gorontalo merupakan identitas budaya yang penting, keberadaannya dalam pendidikan formal masih jauh dari optimal.
Implementasi pembelajaran di sekolah berjalan tidak seragam, dengan keterbatasan pada aspek materi ajar, metode pembelajaran, dan standar evaluasi.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.