Hari Kartini

Mega Mokoginta Pemerhati Perempuan Gorontalo Ungkap Makna Hari Kartini

Penulis: Arianto Panambang
Editor: Fadri Kidjab
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

HARI KARTINI - Mega Mokoginta, Pemerhati Perempuan Gorontalo. Mega Mokoginta mengungkap makna Hari Kartini.
HARI KARTINI - Mega Mokoginta, Pemerhati Perempuan Gorontalo. Mega Mokoginta mengungkap makna Hari Kartini.

TRIBUNGORONTALO.COM – Hari Kartini yang jatuh pada 21 April hari ini memiliki makna tersendiri bagi setiap perempuan Indonesia.

Kartini lahir pada 21 April 1879 di Desa Mayong, Jepara, Jawa Tengah. 

Berasal dari kalangan ningrat, ia merasakan langsung bagaimana tradisi patriarki membatasi ruang gerak perempuan.

Dipingit sejak usia 12 tahun, Kartini tetap beruntung karena sempat mengenyam pendidikan. Dari ruang pingitan itulah, ia menulis surat-surat yang kelak menggema dalam semboyannya "Habis Gelap, Terbitlah Terang".

Mega Mokoginta, Pemerhati Perempuan Gorontalo, mengungkapkan, mengatakan pemikiran Kartini adalah bentuk gugatan atas budaya patriarki yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat.

Baca juga: Bisakah Paslon Ajukan Gugatan ke MK setelah PSU? Begini Penjelasan KPU Provinsi Gorontalo

Ia menyadari bahwa diskriminasi terhadap perempuan kerap lahir hanya karena perbedaan jenis kelamin.

 

Dalam masyarakat yang timpang, perempuan tak hanya kehilangan akses terhadap pendidikan dan ruang publik, tapi juga terhadap martabatnya sebagai manusia.

“Perempuan yang telah dipingit itu seperti burung yang bernyawa dalam sangkar,” tulis Mega Mokoginta, pemerhati perempuan Gorontalo, dalam refleksinya atas semangat Kartini.

Mega menilai bahwa apa yang diperjuangkan Kartini sejatinya masih relevan dengan kondisi perempuan di daerah, termasuk di Gorontalo.

Mega, yang aktif menangani kasus-kasus kekerasan seksual, menyoroti pentingnya pendidikan dan pembebasan perempuan dari rantai kultural yang membelenggu.

Dalam pandangannya, perjuangan Kartini sejajar dengan tokoh feminis dunia seperti Mary Wollstonecraft, yang dalam esainya “A Vindication of the Rights of Woman” menyatakan bahwa “pikiran tidak memiliki jenis kelamin.”

Kini, semangat emansipasi hadir dalam bentuk gerakan-gerakan sosial yang lebih konkret.

Komunitas dan lembaga swadaya masyarakat aktif membentuk desa binaan, menyuarakan kesetaraan gender, memberdayakan perempuan dalam ekonomi kreatif, serta membekali mereka agar terlibat dalam politik dan advokasi hukum.

“Gerakan ini adalah bentuk nyata Kartini-isme masa kini. Mereka yang bergumul di desa-desa, membantu perempuan menemukan jati diri dan cita-citanya, itulah Kartini sejati,” ujar Mega.

Peringatan Hari Kartini, bagi Mega dan banyak perempuan lainnya di Gorontalo, bukan sekadar mengenakan kebaya atau mengucapkan selamat di media sosial.

Ini adalah momentum untuk terus menyuarakan dan memperjuangkan nilai-nilai yang telah diperjuangkan Kartini lebih dari seabad silam.

Seperti ungkapan Kartini dalam suratnya yang terkenal “Cita-cita itu ialah memperindah martabat manusia, memuliakannya, mendekatkan pada kesempurnaan.” 

Cita-cita itu masih terus diperjuangkan, oleh Kartini-Kartini masa kini, di seluruh penjuru negeri. (*)