Human Interest Story

Mengenal Sigit Ibrahim, Pemuda Gorontalo Perintis Program Rumah Inovasi Difabel

Penulis: Andika Machmud
Editor: Fadri Kidjab
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sigit Ibrahim, remaja Gorontalo yang kini telah bekerja di perusahaan di DKI Jakarta.

TRIBUNGORONTALO, Gorontalo – Mengenal Mohammad Sigit Ibrahim, sosok pemuda difabel berprestasi asal Gorontalo.

Pria berusia 28 tahun menjelaskan setiap manusia harus memiliki value atau nilai untuk diakui orang lain.

Sigit memulai pendidikannya di Sekolah Luar Biasa (SLB) dari SD hingga SMA.

Ia kemudian kuliah di Universitas Negeri Gorontalo (UNG).

Setelah meraih gelar sarjana hukum dengan predikat Cumlaude, Sigit mengembangkan kemampuannya dengan berbagai pelatihan.

Seperti misalnya pelatihan penulisan legal opini, Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), hingga cara menggunakan Microsoft Office terbaru.

"Rata-rata waktu pelatihan satu minggu," ungkapnya kepada TribunGorontalo.com, Minggu (11/02/2024).

Ia mengaku perlu memiliki skill mumpuni untuk memasuki dunia kerja.

Sehingga, ia memanfaatkan masa transisi setelah lulus dengan banyak mengikuti pelatihan.

Di sela-sela itu, Sigit merintis program Rumah Inovasi Difabel (Rumivabel).

Program tersebut berfokus terhadap difabel.

Bertempat di Pilohayanga, program tersebut bertujuan mengembangkan potensi tersembunyi dari difabel.

Misalnya difabel di Pilohayanga akan mendapatkan pembelajaran pelatihan keterampilan.

Pelatihan tersebut tentang cara membuat kue, memasak dan kerajinan yang bisa dijual ke masyarakat.

Tempat pelatihan pun dibantu oleh warga sekitar, sehingga membantu difabel untuk cepat beradaptasi dengan lingkungan mereka.

Selain itu, program ini juga membantu untuk pengecekan kesehatan dari difabel yang berada di Desa Pilohayanga.

Dampaknya, difabel yang berada di Pilohayanga tidak takut lagi bergaul dengan masyarakat sekitar.

Sehingga output dari program tersebut berhasil dengan melatih kemampuan keterampilan difabel agar mereka juga dapat bersosialisasi dengan baik.

Merantau ke Jakarta

Dengan berbagai kemampuan dari hasil pendidikan dan pelatihannya, Sigit diajak seseorang untuk bekerja di salah satu perusahaan di Jakarta.

Namun, pada saat itu ia menolak karena keluarganya tidak memberi ijin untuk merantau lebih jauh.

Kesempatan kedua datang. Ia kembali diajak oleh kenalannya ke Jakarta. Namun kali ini ia memberanikan diri merantau lebih jauh.

Bekerja sebagai officer tata kelola di salah satu perusahaan, Sigit harus berkoordinasi dan memastikan jika perusahaan beroperasi sesuai peraturan perundangan.

"Pekerjaan ini membutuhkan dari basic hingga advance soal perkara hukum," ungkapnya.

Saat awal di di Jakarta, Sigit masih tidak terbiasa. Namun berkat pengalamannya merantau di Kota Gorontalo, ia dapat menanggulangi masalah di ibukota.

"Saat pertama juga, ada teman yang membantu adaptasi sekitar seminggu," katanya.

Meski begitu dengan kondisinya, ia merasa Jakarta sudah cukup bagus dari segi fasilitasnya. Ia menuturkan, fasilitas tersebut mempermudah dirinya untuk beraktivitas.

Dirinya berjanji akan terus mengembangkan diri. Lebih lanjut, ia ingin merubah paradigma bahwa difabel hanya bisa bekerja di tempat yang "dikhususkan" juga.

"Kalau orang tidak berusaha, ya tidak akan terjadi apa-apa," celotehnya.

Walaupun ia pernah mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan semasa hidupnya, Sigit tidak tersinggung dan tetap sabar.

Saat ini Sigit menjelaskan nyaman dengan pekerjaan yang sedang dijalani.

Namun ia tetap ingin berusaha lebih baik lagi untuk pekerjaannya.

"Kita harus punya value atau nilai lebih. Jika kita memiliki itu, maka orang lain akan tertarik dengan skill kita. Oleh karena itu, wajib untuk memantaskan diri dulu," tutupnya.