Bharada E

Ahli Hukum dari Trisaksi: Pasal 51 KUHP Gugurkan Pidana Bharada E, Layak Jadi JC

Editor: Lodie Tombeg
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Bharada E mengikuti persidangan. Ancaman pidana terhadap Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E dalam kasus dugaan pembunuhan berencana Nofriansyah.

TRIBUNGORONTALO.COM, Gorontalo - Ancaman pidana terhadap Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E dalam kasus dugaan pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J), bisa dihapuskan.

Dalilnya Pasal 51 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.”

Demikian ditegaskan Ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti Albert Aries.

Sebab menurut Aries, pada hakikatnya Richard hanya menuruti perintah atasannya, Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri Ferdy Sambo, buat menembak Yosua.

"Pada hakikatnya orang itu tidak boleh membunuh, orang itu tidak boleh merusak barang milik orang lain dan mengambil milik orang lain. Tetapi karena perintah tersebut, elemen dari perbuatan melawan hukum itu dihapuskan," kata Albert saat memberikan keterangan sebagai ahli dalam persidangan kasus Brigadir J di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu (28/12/2022).

Albert dihadirkan sebagai ahli yang meringankan dari kubu Richard. Dia lantas menyinggung soal keadaan terpaksa bagi seorang yang menerima perintah sebagaimana diatur dalam Pasal 51 Kitab KUHP.

Pasal itu berbunyi “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.”

Menurut Albert, Pasal 51 KUHP itu bisa diterapkan kepada Richard dalam kasus ini.

Albert menjelaskan alasan dalil hukum tersebut bisa digunakan Bharada E karena adanya hubungan hukum publik dengan pemberi perintah penembakan terhadap Brigadir J.

"Mengapa demikian? karena memang ketika perintah jabatan ini diberikan ada hubungan hukum publik yang terjalin antara pemberi perintah," ucap Albert.

Meskipun dalam perkembangannya tidak hanya perintah tapi juga instruksi dan hubungan antara yang diberi dan pemberi perintah itu tidak harus berstatus pegawai negeri.

Yang penting ada otoritas publik dari penguasa dan pejabat berwenang tersebut," ujar Albert.

Dalam dakwaan jaksa penuntut umum disebutkan Richard Eliezer menembak Yosua atas perintah Ferdy Sambo yang saat kejadian menjabat Kepala Divisi (Kadiv) Propam Polri.

Peristiwa pembunuhan Yosua disebut terjadi setelah cerita Putri Candrawathi yang mengaku dilecehkan Yosua di Magelang.

Kemudian, Ferdy Sambo marah dan merencanakan pembunuhan terhadap Yosua yang melibatkan Richard Eliezer, Ricky Rizal, dan Kuat Ma'ruf.

Dalam peristiwa yang terjadi di rumah dinas Sambo di Kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan pada 8 Juli 2022, Richard mengaku Sambo memerintahkannya mengokang senjata api sebelum menembak Yosua.

Ketika Yosua masuk ke dalam rumah, Richard mengaku dia diperintah oleh Sambo menembak rekannya sesama ajudan itu.

"Bapak langsung bilang 'Woi tembak cepat. Cepat kau tembak'," kata Richard dalam persidangan yang lalu.

Atas perbuatannya, Richard Eliezer, Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Bripka Ricky Rizal Wibowo, dan Kuat Ma'ruf didakwa melanggar Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 56 ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Khusus Sambo, jaksa juga mendakwa eks Kadiv Propam itu terlibat obstruction of justice atau perintangan proses penyidikan pengusutan kasus kematian Brigadir J.

Ia dijerat dengan Pasal 49 juncto Pasal 33 subsider Pasal 48 Ayat (1) juncto Pasal 32 Ayat (1) UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dan/atau Pasal 233 KUHP subsider Pasal 221 Ayat (1) ke 2 juncto Pasal 55 KUHP.


Layak Dapat Status "Juctice Collaborator"

Albert Aries menilai terdakwa Bharada E layak mendapat status saksi pelaku atau justice collaborator (JC) dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Penilaian itu bermula ketika salah seorang penasihat hukum Bharada E mempertanyakan kelayakan kliennya mendapatkan status JC dari LPSK.

“Ada anggapan bahwa status JC tersebut tidak bisa diterapkan kepada terdakwa. Bagaimana pendapat dari sudut pandang ahli?” tanya Penasihat Hukum Bharada E dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Rabu (28/12/2022).

Merespons pertanyaan itu, Albert lantas menyinggung penjelasan Pasal 5 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Albert berpandangan, status justice collaborator dapat diberikan kepada seseorang yang terkait dalam suatu perbuatan tindak pidana yang bisa membuatnya berada di posisi terancam.

"Di sana dikatakan bahwa tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi atau korban di hadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya,” papar Albert.

“Berarti ini (pemberian status JC itu) dinilai secara obyektif oleh LPSK dalam memberikan perlindungan tadi," terang dia. Lebih jauh, Albert juga menilai dasar hukum syarat pemberian JC juga tercantum di Pasal 28 UU Perlindungan Saksi dan Korban.

Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti ini mengungkapkan bahwa JC bakal diberikan kepada pihak yang bukan merupakan pelaku utama dalam suatu tindak pidana.

"Poin menarik adalah di poin e, adanya ancaman nyata atau kekhawatiran mengenai kejadian, ancaman fisik atau psikis terhadap saksi pelaku atau keluarganya," kata Albert.

"Ketika memenuhi syarat yang ditentukan Pasal 28 dan sesuai penjelasan Pasal 5 Ayat 2 yang ukuran objektif, perlindungan itu bisa diberikan kepada seseorang yang memang ingin mengungkap suatu kejahatan," jelasnya.

(*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Jalankan Perintah Ferdy Sambo, Pelanggaran Pidana Bharada E Berpeluang Gugur"