(Penulis: Arif Moito, Guru di SMP Negeri 3 Botumoito)
TRIBUNGORONTALO.COM - Nyala matahari hari ini sangat panas. Jalanan tampak sepi, tak ada kendaraan lalu lalang.
Asap yang sedikit hitam mengudara, berasal dari pembakaran tongkol jagung.
Di sebelahnya ada lantai jemuran, sebelumnya putih, seketika berubah warna jingga kekuningan, setelah dihamparkan jagung yang akan dikeringkan.
Meski panas, para petani dan penyedia jasa mesin pemipil jagung tetap semangat walau sesekali matanya perih kerena kelilipan.
Beginilah suasana Desa Botumoito Dusun Mebongo Kecamatan Boalemo. Dusun ini begitu produktif pada sektor pangan.
Namun, anehnya gapura dusun ini seakan tak mau membenarkan karakter dusun yang sesungguhnya, gapura itu bertuliskan “Mebongo City” tulisan itu membuat saya bertanya-tanya dalam hati.
Kenapa gapura dusun ini ditulis dengan nama seperti itu? Padahal wilayah itu adalah wilayah pedesaan.
Sebagai kaum milenial (Gen Y) yang tidak lepas dari penggunaan gawai, saya langsung memposting foto di akun facebook.
Postingan itu saya beri keterangan “masih menjadi pertanyaan, kenapa nama dusun ini diberi embel-embel city? padahal tidak ada industri, tidak ada gedung perkantoran, tidak ada pasar modern.
Untuk menjadi modern tak perlu merubah dusun menjadi kota.
Postingan ini menimbulkan tanggapan dari teman-teman facebook, mulai dari tanggapan dengan emoticon suka,tertawa, sampai komentar dari kepala desa, tempat dimana dusun itu berada.
Dari banyaknya tanggapan itu, komentar yang paling menggelitik adalah komentar dari kepala desa yang membuat gapura itu.
Inti dari komentarnya adalah saya disamakan dengan provokator,tidak beradab, dan mengurangi semangat dan niat dalam proses pembangunan.
Padahal, menurut saya postingan itu tidak salah. Karena, saya memposting sebuah fakta yang jelas terlihat oleh semua orang.
Pembuatan gapura sangat baik untuk memberi gambaran awal kepada pengunjung, tentang apa yang ada di dalam dusun itu.
Seperti, fungsi bangunan gapura yang dituliskan Pemerintah Kecamatan Bener, Kabupaten Purwerejo yang saya kutip dari websitenya “Seiring perkembangan zaman makna gapura semakin menebal tidak hanya sebagai petunjuk sesorang atas masuknya dirinya kesebuah kawasan tetapi lebih mengarah pada makna harga diri dan prestise sebuah daerah."
Bahkan, saat ini gapura juga telah menjadi Ikon dan kebanggaan bagi suatu daerah tertentu, atau bisa jadi sebagai pintu masuk menuju destinasi wisata.
Tak heran bagi daerah yang memilik potensi wisata maupun ekonomi menonjol, berlomba membangun gapura yang lebih berkerakter, artistik, inovatif, dan representatif. sebagai magnet daerah tersebut.
Setiap orang yang mendatangi suatu tempat, pasti bahagia melihat tempat yang didatangi sangat sesuai dengan ekspektasi.
Apalagi, itu adalah kedatangan pertama kali, pasti akan bercerita maupun bertanya tentang apa yang dia lihat, atau sebaliknya, akan tidak senang bahkan menyesal. Terutama ketika tempat yang didatangi tidak sesuai dengan ekpektasi, dan sama pasti juga akan bertanya tentang apa yang dia lihat.
Itulah yang terjadi pada saya, saat duduk memperhatikan aktifitas petani saat itu dan mecoba mengaitkan dengan nama gapura.
Bagi saya, setelah beberapa menit mencoba mengaitkan, nama gapura itu tidak sesuai dengan aktivitas dan kondisi di dalam gapura.
City berarti kota dalam bahasa Indonesia. Membaca kata “city” pada gapura itu, tentu akan membuat orang asing menjadi penasaran dan membayangkan apa yang ada di dalam gapura “Mebongo City”. Untungnya, saya adalah warga kecamatan setempat jadi tak akan terkecoh dengan tulisan gapura itu.
Apakah gapura itu untuk menonjolkan karakter dan representatif dari dusun Mebongo? Kalau untuk alasan itu, saya rasa sangat tidak tepat pemberian nama gapura itu, karena sedikitpun karakter kota tidak ada di dalam dusun itu.
Entah itu perkantoran, industri, atau pasar modern seperti yang ada di kota-kota.
Jika harapan tentang masa depan, bahwa nanti dusun itu akan menjadi kota maka sebaiknya desa lebih mendahulukan fasilitas dusun sama dengan fasilitas perkotaan.
Misalnya, taman yang mempunyai akses internet gratis. Bukan nama dusunya yang langsung diberi embel-embel city tanpa mempertimbangkan aspek historis,kondisi, dan kearifan lokal dusun.
Apakah penamaan gapura itu untuk sensasi? saya tak berani bilang nama gapura itu untuk sensasi. Tapi, saya tak menemukan alasan rasional, kenapa wilayah pedesaan ini yang seharusnya dijaga kearifan lokalnya justru diberi nama yang sangat jauh dari realitanya.
Terlebih jawaban dari seorang kepala desa yang ikut mengomentari postingan saya, sama sekali tidak menjelaskan secara substansi kenapa penamaan dusun seperti itu.
Komentar beliau lebih foKus kepada sensasi yang akan ditimbulkan oleh postingan saya, kenapa saya bilang sensasi? karena saya disamakan dengan provokator yang dapat menimbulkan potensi konflik antara masyarakat dan pemerintah desa.
Saya tidak heran, kenapa komentarnya seperti itu, karena saya yakin kepala desa ini tidak punya jawaban yang rasional atas kebijakannya.
Parahnya lagi, beliau menganggap, orang yang mempertanyakan sebuah kebijakan melalui media social adalah orang yang tidak beradab.
Sangat rendah ukuran beradab dan tidak beradabnya seseorang di mata kepala desa ini, karena mengukurnya melalui postingan media social, padahal memposting apapun di media sosial adalah hak setiap individu, selagi dia tidak menyerang individu orang lain.
Jangan hanya dusunnya yang dirubah menjadi kota, mental pemimpinnya juga harus dirubah. Apalagi di zaman yang mulai serba digital seperti sekarang.
Platform media sosial saat ini telah menjadi akses bagi semua orang untuk mendapatkan informasi. Bahkan, digunakan untuk mengkampanyekan keberhasilan program pemerintah.
Jadi, pemerintah desa di manapun, sebaiknya tak perlu 'anti' akan pertanyaan tentang kebijakannya. Sebab, semua orang berhak untuk mempertanyakan apapun yang menyangkut dengan urusan publik. Bapak-bapak yang terhormat juga digaji oleh APBN. (*)