Pesawat Jatuh di Bogor

Rekam Jejak Marsma Fajar Adriyanto, Prajurit TNI AU yang Gugur dalam Kecelakaan Pesawat di Bogor

Marsma Fajar Adriyano gugur dalam kecelakaan pesawat di Ciampea, Bogor, Jawa Barat pagi tadi, Minggu (3/8/2025).

Editor: Fadri Kidjab
Kolase Tribun-timur.com
PESAWAT JATUH - Marsekal Pertama (Marsma) TNI Fajar Adrianto gugur dalam insiden jatuhnya pesawat latih milik TNI AU di wilayah Desa Benteng, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, pada Minggu (3/8) sekitar pukul 10.00 WIB. 

TRIBUNGORONTALO.COM – Marsma TNI Fajar Adriyanto meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat di Ciampea, Bogor, Jawa Barat, pada Minggu (3/8/2025).

Fajar adalah sosok yang sangat dikenal di lingkungan TNI AU, terutama karena ia pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Penerangan TNI AU (Kadispenau).

Kadispenau Marsma I Nyoman Suadnyana mengungkapkan bahwa Fajar merupakan lulusan Akademi Angkatan Udara (AAU) tahun 1992.

Sepanjang kariernya yang gemilang, Fajar pernah mengemban berbagai jabatan penting, di antaranya Komandan Skadron Udara 3, Komandan Landasan Udara (Danlanud) Manuhua, hingga Kadispenau.

Marsma Fajar juga pernah menjabat sebagai Kapuspotdirga, Aspotdirga Kaskoopsudnas, dan Kapoksahli Kodiklatau.

Di mata rekan-rekannya, Marsma Fajar dikenal sebagai prajurit yang memiliki dedikasi tinggi dan berperan penting dalam sejarah TNI AU.

Baca juga: Kronologi Pesawat Latih Jatuh di Bogor, Prajurit TNI AU Meninggal Dunia

Rekam Jejak Marsma Fajar Adriyanto

Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara (Kadispenau) Marsma I Nyoman Suadnyana mengungkapkan Marsma Fajar merupakan sosok penting dalam sejarah penerbangan TNI AU

“Termasuk keterlibatannya dalam peristiwa udara dengan pesawat F/A-18 Hornet Angkatan Laut Amerika Serikat di langit Bawean tahun 2003,” kata Suadnyana dalam keterangan resminya seperti dikutip TribunGorontalo.com dari Kompas.com, Minggu (3/8/2025).

Pada 5 Juli 2003, Harian Kompas menerbitkan laporan peristiwa Bawean, operasi militer yang dilakukan TNI AU saat menyergap 5 unit pesawat F/A-18 Hornet yang melintas di wilayah udara Indonesia tanpa izin.

Peristiwa Bawean terjadi pada 3 Juli 2003. Saat itu, Military Coordination Civil (MCC) Bandara Ngurah Rai, Bali mendeteksi sejumlah sasaran yang muncul tiba-tiba di barat laut Pulau Bawean pukul 11.38 waktu setempat.

Laporan diterima Pos Sektor (Posek) II dan dipantau Pusat Operasi Pertahanan Udara Nasional (Popunas). 

Hasil pemeriksaan sementara saat itu, sempat diasumsikan diasumsikan sebagai lima pesawat F-5 RSAF yang melaksanakan penerbangan Paya Lebar-Darwin-Amberley- Darwin-Paya Lebar. Setelah dipantau selama sekitar 1 jam, manuver pesawat dinilai tidak normal.

Pada pukul 14.00 hingga 15.00, Popunas dan Posek II menganalisis kegiatan penerbangan yang tidak melakukan kontak radio dengan Air Traffic Controller (ATC) Soekarno-Hatta, Cengkareng, maupun Bali. 

TNI AU kemudian memutuskan mengerahkan dua pesawat F-16 yang siaga di Pangkalan Udara (Lanud) Iswahyudi, Magetan, Jawa Timur. 

Marsma Fajar mengudara menggunakan Falcon 1 TS-1603 bersama Kapten Ian. Sementara, satu F-16 lainnya, Falcon 2 TS-1602 dikendalikan Kapten Tonny/Kapten Satriyo.

Terlibat Manuver, Falcon 1 Terancam Pada pukul 17.25, Falcon 1 terlbat manuver jarak dekat dengan dua F-18 Hornet.

Kedua pesawat US Navy itu mengambil posisi menyerang dan membuat F-16 yang ditumpangi Marsma Fajar terancam. 

Sementara itu, Falcon 2 memposisikan sebagai support fighter. Falcon 1 kemudian melihat, kapal fregat US Navy tengah bergerak ke timur. 

Falcon 2 lalu melakukan rocking the wing sebagai pernyataan bahwa Falcon 1 tidak mengancam.

Falcon 1 kemudian menjalin kontak suara dengan F-19 Hornet di UHF 243.0. 

Pesawat asing itu lalu mengabarkan bahwa mereka berasal dari satuan US Navy yang terdiri dari beberapa kapal perang. Para penerbang dari Paman Sam itu mengeklaim telah mengantongi izin lintas.

Falcon 1 pun menyatakan pihaknya sedang berpatroli dan datang hanya untuk identifikasi. Setelah itu, F-18 Hornet menjauh dan tidak lagi mengancam.

F-18 Tak Belum Jalin Kontak 

Kepala Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) saat itu, Marsekal Muda Wresniwiro menyebut, lima pesawat F-18 Hornet itu belum melakukan kontak.


Mereka terbang dari kapal induk US Navy yang berkonvoi dengan beberapa kapal perang di wilayah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Pemberitahuan atau kontak saat itu hanya dilakukan untuk kapal laut, bukan pesawat tempur. 

Buntut peristiwa ini, pemerintah Indonesia menyampaikan protes keras kepada Pemerintah Amerika Serikat melalui Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. 

Pemerintah keberatan pesawat tempur AS bermanuver di atas laut Indonesia. 

"Kita ini tidak selemah yang mereka (AS) duga. Kita memang tidak ingin membuat hubungan kedua negara menjadi buruk, tetapi kita juga tidak ingin mereka tidak mengakui kedaulatan kita," ujar Menteri Kehakiman dan HAM (Menkeh dan HAM) Yusril Ihza Mahendra dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (8/7/2003), dikutip dari Harian Kompas edisi 9 Juli 2003.

Kini kisah Marsma Fajar Adriyanto menjadi catatan sejarah TNI AU. Meski dirinya telah gugur, semua jasanya akan selalu dikenang.

 


Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Marsma Fajar Adriyanto dalam Kenangan: Sergap Jet F-18 Hornet US Navy"

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved