Berita Gorontalo

Aktivis Sorot Hari Anak Nasional di Gorontalo: Banyak Seremoni, Minim Aksi Nyata

Setiap tanggal 23 Juli, berbagai daerah di Indonesia merayakan Hari Anak Nasional dengan semarak.

Penulis: Arianto Panambang | Editor: Wawan Akuba
Freepic
HARI ANAK NASIONAL -- Seorang aktivis menyoroti perayaan hari anak yang lebih banyak seremonial dibanding aksi-aksi penyelamatan anak. 

‎TRIBUNGORONTALO.COM, Gorontalo – Setiap tanggal 23 Juli, berbagai daerah di Indonesia merayakan Hari Anak Nasional dengan semarak.

‎Anak-anak didandani menjadi pahlawan super, membaca puisi tentang masa depan, hingga menyanyikan lagu kebangsaan.

‎Namun di balik gegap gempita itu, masih banyak anak-anak yang hidup dalam bayang-bayang kekerasan, kemiskinan, dan keterbatasan akses pendidikan.

‎Ketua Korps Muslimah KAMMI (Komaki) Pengurus Wilayah Gorontalo, Ade Safitri Stirman menyoroti ironi perayaan Hari Anak Nasional yang dinilainya hanya menyentuh aspek seremonial.

Pemerintah kata dia abai terhadap problem mendasar yang dihadapi anak-anak di Indonesia, khususnya mereka yang berasal dari keluarga miskin dan termarjinalkan.

‎“Anak-anak yang hadir di panggung perayaan hanyalah segelintir dari mereka yang beruntung. Sementara yang lain menjual kue keliling kampung, memungut sampah, atau menjaga warung demi membantu orang tuanya bertahan hidup. Mereka tak punya kostum, tak punya panggung, bahkan tak punya akta kelahiran,” ujarnya kepada TribunGorontalo.com, Jumat (25/7/2025).

‎Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2023 terdapat 1,01 juta pekerja anak berusia 5–17 tahun di Indonesia.

UNICEF bahkan mencatat bahwa anak-anak dari keluarga miskin memiliki risiko dua kali lebih besar untuk putus sekolah dan kerap menjadi tulang punggung ekonomi keluarga sejak usia dini.

‎Mereka bukan hanya kehilangan hak atas pendidikan, tapi juga hidup tanpa perlindungan yang layak dari negara.

‎“Banyak dari anak-anak ini bahkan tidak terdaftar dalam sistem bantuan sosial, tidak memiliki akta lahir, dan akhirnya tak diakui keberadaannya oleh negara. Mereka hidup, tapi tak dianggap,” tegas Ade.

‎Ia juga menyoroti peran ibu-ibu dari kelompok miskin yang harus bekerja keras seharian, sementara anak-anak mereka terpaksa mengambil alih peran dewasa mengasuh adik, menjaga rumah, hingga mencari nafkah.

‎Situasi ini, menurutnya, adalah buah dari sistem yang gagal menghadirkan perlindungan dan keadilan sosial.

‎“Kita menyebutnya pola asuh, padahal ini bentuk delegasi paksa dari negara yang abai,” katanya.

‎Di sisi lain, Ade menilai sistem pendidikan Indonesia juga belum berpihak pada tumbuh kembang anak secara menyeluruh.

‎Sekolah, yang seharusnya menjadi ruang aman bagi anak, justru sering berubah menjadi tempat yang menekan anak secara psikologis dan emosional.

‎“Kurikulum terus berganti, tapi satu yang tak berubah, anak-anak tetap diperlakukan sebagai produk seragam. Apalagi anak-anak dari keluarga marginal yang datang ke kelas membawa luka, lapar, dan trauma. Mereka tetap dipaksa duduk manis dan dinilai dengan angka, seolah semua anak punya start yang sama,” tambahnya.

‎Isu kekerasan di lingkungan pendidikan pun belum tersentuh serius. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ribuan kasus kekerasan terhadap anak setiap tahunnya.

‎Tahun 2022 tercatat lebih dari 4.000 kasus, 2023 sebanyak 3.000 lebih, dan 2024 sekitar 2.000 kasus.

Di Gorontalo sendiri, tercatat 187 kasus kekerasan anak sepanjang tahun 2024.

‎“Itu baru yang tercatat. Kita tahu, banyak kasus kekerasan di desa-desa dibungkam oleh budaya diam. Anak-anak dipaksa diam demi menjaga nama baik keluarga,” kata Ade.

‎Ia menilai, perayaan Hari Anak Nasional belum benar-benar mendorong lahirnya kebijakan jangka panjang yang berpihak pada anak, khususnya dalam penguatan perlindungan dan peningkatan anggaran pendidikan bagi anak-anak marginal.

‎“Jangan sampai Hari Anak hanya menjadi seremoni penuh balon warna-warni dan foto di media sosial, tanpa ada perbaikan sistemik. Kita sibuk menuntut anak jadi generasi emas, tapi membiarkan mereka tumbuh di lingkungan beracun secara struktural,” pungkasnya.

‎Ade menegaskan bahwa jika bangsa ini benar-benar ingin merayakan Hari Anak Nasional, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah berhenti membohongi diri sendiri, berhenti berpura-pura bahwa anak-anak di negeri ini baik-baik saja.

‎“Anak-anak tidak butuh seremoni. Mereka butuh perlindungan nyata, kebijakan hidup, dan keberpihakan struktural. Kita tak bisa mengklaim cinta anak-anak, jika masih membiarkan mereka menjadi korban dari sistem yang timpang,” tutupnya. (*)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved