Polemik ODOL Gorontalo
Pantas Cepat Rusak! Jalan Gorontalo Hanya untuk Mobil 10 Ton, Tapi yang Lewat 30 Ton
Kondisi jalan di Provinsi Gorontalo yang cepat rusak rupanya bukan tanpa sebab. Salah satunya karena kapasitas jalan yang tak sebanding dengan beban m
Penulis: Jefry Potabuga | Editor: Wawan Akuba
TRIBUNGORONTALO.COM, Gorontalo — Kondisi jalan di Provinsi Gorontalo yang cepat rusak rupanya bukan tanpa sebab. Salah satunya karena kapasitas jalan yang tak sebanding dengan beban muatan truk yang kerap melebihi batas.
Hal ini diungkapkan Dosen Teknik Sipil Universitas Negeri Gorontalo (UNG), Yuliyanti Kadir, saat menanggapi kembali mencuatnya polemik Over Dimension Over Loading (ODOL) di tanah air.
Menurut Yuliyanti, sebagian besar jalan di Gorontalo hanya tergolong jalan kelas tiga.
Sesuai Peraturan Menteri PUPR Nomor 13 Tahun 2024, jalan kelas tiga hanya mampu menahan beban muatan sumbu terberat (MST) hingga 8 ton.
Sementara untuk jalan kelas satu dan dua, MST maksimal hanya 10 ton.
Sayangnya, truk logistik di lapangan justru kerap membawa beban jauh di atas kapasitas tersebut.
"Truk logistik standar internasional sudah sampai 30 ton sedangkan di Indonesia muatan sumbu terberat baru sanggup 10 ton untuk jalan kelas satu dan dua," ungkap Yuliyanti kepada Tribun Gorontalo, Kamis (10/7/2025).
Praktik ODOL di Gorontalo, lanjut Yuliyanti, masih marak terjadi. Tak sedikit sopir truk yang sengaja memodifikasi kendaraannya agar bisa memuat barang lebih banyak demi menekan biaya logistik.
"Praktik ODOL dilakukan untuk efisiensi biaya logistik," jelasnya.
Ironisnya, banyak sopir tak menyadari dampak negatif kelebihan muatan. Selain merusak jalan, kelebihan beban juga meningkatkan risiko kecelakaan lalu lintas.
"Umumnya mereka tidak paham bisa berdampak negatif terhadap keselamatan dan infrastruktur jalan," tegasnya.
Yuliyanti menjelaskan, di Gorontalo, truk bermuatan berat seringkali melintasi jalan kelas tiga yang jelas tidak didesain menahan beban berlebih.
Ditambah lagi, sebagian besar angkutan material seperti batu, pasir, dan kerikil tidak melalui jembatan timbang.
"Seperti material konstruksi seperti batu, pasir maupun kerikil tanpa melalui jembatan timbang," bebernya.
Akibatnya, jalan cepat rusak, berlubang, retak, hingga bergelombang. Kerusakan ini memicu biaya perbaikan yang besar dan berulang.
"Dan juga tidak sesuai umur rencana sehingga butuh perbaikan dan memerlukan pembiayaan yang cukup tinggi," ujar Yuliyanti.
Dari sisi keselamatan, kelebihan muatan membuat kendaraan lebih sulit dikendalikan, terutama saat pengereman mendadak.
"Dimana dengan muatan yang berlebihan membuat kendaraan sulit untuk dikendalikan, terlebih saat pengereman mendadak," ucapnya.
Lebih jauh, jalan yang rusak parah berisiko memicu kecelakaan, khususnya jika pengendara mencoba menghindari lubang di jalan.
"Jalan yang rusak parah dapat menyebabkan kecelakaan terutama saat pengendara mencoba menghindari lubang," tukasnya.
Sebagai solusi, Yuliyanti mendorong pemerintah untuk memperkuat regulasi, meningkatkan pengawasan, dan memberi sanksi tegas pada pelanggar ODOL.
Ia juga menyarankan penguatan teknologi pengawasan, seperti pemasangan Weigh-in-Motion (WIM) yang memungkinkan kendaraan ditimbang secara otomatis tanpa perlu berhenti.
"Pemerintah harus memperkuat regulasi yang ada, termasuk meningkatkan pengawasan dan penindakan," tuturnya.
Sayangnya, Gorontalo baru memiliki dua jembatan timbang, yaitu di Marisa dan Molotabu. Ia menilai ini masih belum cukup untuk menekan praktik ODOL.
"Apalagi di Gorontalo hanya memiliki dua jembatan timbang yakni di Marisa dan Molotabu," ucapnya.
Terakhir, Yuliyanti menegaskan penanganan ODOL harus melibatkan banyak pihak lintas instansi agar kebijakan dapat diterapkan optimal.
"Karena penertiban ODOL saling berkaitan dengan beberapa lembaga maupun instansi. Sudah ada regulasi namun belum di optimalkan," pungkasnya. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.