Berita Nasional

WNI Korban Perbudakan Dijanjikan Gaji Besar, Berakhir Jadi Penipu Online di Kamboja dan Myanmar

Pandangan Salman kerap tertunduk saat sejumlah pejabat dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Sosial, Bareskrim Polri, dan Interpol mengamati merek

Penulis: Redaksi | Editor: Wawan Akuba
Getty
WNI DARI MYANMAR - Sejumlah warga negara Indonesia (WNI) menjadi korban perbudakan kerja di Myanmar dan Kamboja. 

TRIBUNGORONTALO.COM -- Salman bersama 83 warga negara Indonesia (WNI) akhirnya tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, pada Jumat (28/2) malam.

Mereka merupakan korban perdagangan manusia yang dipaksa bekerja sebagai penipu online atau online scam di Kamboja dan Myanmar.

Di Terminal 2F, Salman duduk bersama rombongan, sebagian besar mengenakan masker hijau untuk menutupi wajah mereka.

Bandana merah yang terikat di leher menjadi tanda bahwa mereka berasal dari kelompok penerbangan yang sama. 

Pandangan Salman kerap tertunduk saat sejumlah pejabat dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Sosial, Bareskrim Polri, dan Interpol mengamati mereka.

Dijanjikan Karier Cemerlang, Berakhir di Jebakan Penipuan Online

Salman, pria asal Selat Panjang, Riau, mengungkapkan bagaimana ia bisa terjebak dalam skema ini.

Pada 22 April 2024, ia menerima tawaran pekerjaan sebagai marketing di sebuah platform jual beli online di Kamboja.

“Saya dijanjikan gaji besar, lingkungan kerja aman, dan pekerjaan yang tidak melibatkan aktivitas fisik,” kata Salman.

“Namun, kenyataannya jauh dari harapan.”

Alih-alih bekerja sebagai marketing, ia dipaksa berpura-pura menjadi wanita di media sosial untuk menipu pria dari Indonesia dan Malaysia.

Melalui Facebook dan Instagram, ia harus membujuk korban agar masuk ke dalam jebakan penipuan daring.

“Tugas kami adalah menarik korban dari Indonesia dan Malaysia,” ungkapnya.

Selama dua bulan bekerja di Kamboja, Salman tidak pernah menerima gaji.

Ketika perusahaan tempatnya bekerja ditutup, ia dipindahkan ke Myawaddy, Myanmar, pada Juli 2024 untuk melakukan pekerjaan serupa.

Jika di Kamboja ia hanya kehilangan gaji, di Myanmar Salman mengalami penderitaan yang lebih parah.

Ia mengaku sering mengalami kekerasan fisik selama bekerja di sana.

“Saya mengalami banyak perlakuan kasar,” ujarnya.

Di Myanmar, ia baru bisa mendapatkan gaji, tetapi dengan syarat yang sangat berat.

Setiap pekerja harus mencapai target penipuan sebesar 4.000 dolar AS (sekitar Rp66 juta) per bulan agar mendapatkan bayaran.

“Kalau tidak mencapai target, gaji tidak diberikan,” jelasnya.

Selama bekerja di Myanmar, Salman pernah menerima fee sebesar 25 ribu baht (sekitar Rp12 juta).

Namun, uang itu hanya boleh dihabiskan di Myanmar dan dilarang dikirim ke kampung halaman.

“Kami tidak boleh mengirim uang ke keluarga, harus dihabiskan di sana,” katanya.

Salman dan pekerja lainnya tidak bisa keluar dari jebakan ini begitu saja.

Perusahaan menerapkan denda besar bagi siapa saja yang ingin pulang ke Indonesia.

“Tidak ada yang secara langsung memaksa, tapi kalau mau pulang harus bayar denda,” ungkapnya.

“Di Kamboja, denda yang diminta mencapai Rp80 juta.”

Tanpa uang untuk membayar denda, Salman terpaksa bertahan hingga akhirnya pemerintah Indonesia turun tangan dan menyelamatkan dirinya bersama puluhan WNI lainnya. (*)

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved