Kasus Pelecehan Gorontalo

Komnas HAM RI Minta Polisi Usut Tuntas Kasus Dugaan Pelecehan di UnuGo Gorontalo

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI menyoroti dugaan kasus tindak pelecehan oleh Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Gorontalo (UnuGo).

|
Penulis: Husnul Puhi | Editor: Fadri Kidjab
TribunGorontalo.com
Komisioner Pengaduan Komnas HAM RI, Heri Kurniawan menyoroti kasus pelecehan di instansi perguruan tinggi Gorontalo 

TRIBUNGORONTALO.COM, Gorontalo – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI menyoroti dugaan kasus tindak pelecehan oleh Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Gorontalo (UnuGo).

Komnas Ham meminta kepolisian Gorontalo segera mengusut tuntas kasus tersebut.

Hal ini disampaikan Komisioner Pengaduan Komnas HAM RI, Heri Kurniawan saat melakukan kunjungan kerja di Gorontalo pada Jumat (31/5/2024).

Menurut Heri, kasus tindak pidana kekerasan seksual di Gorontalo, terlebih itu terjadi di instansi perguruan tinggi.

Heri menegaskan kasus pelecehan semacamnya wajib diselesaikan aparat penegak hukum.

"Kasus ini harus segera diselesaikan, ini kurang bagus ya karena di institusi pendidikan," ujar Heri saat ditemui di Hotel Aston Gorontalo, Jumat (31/5/2024).

Komisioner Komnas HAM itu mengatakan, kasus tindak kekerasan dan pelecehan seksual di institusi pendidikan Indonesia seringkali tidak terselesaikan dengan baik.

Karena itu, pihaknya mendorong Tim Satgas TPKS di perguruan tinggi untuk menekan tindak kekerasan atau pelecehan seksual di lingkungan pendidikan.

Juga pemerintah daerah dan kepolisian diharapkan bisa menjadikan kasus serupa sebagai atensi serius.

"Konteks kekerasan seksual di institusi yang berbau agama ini sangat banyak sekali di Indonesia. Jadi, Tim Satgas agar menyelesaikan polemik kasus ini dengan seadil-adilnya," jelasnya.

Heri mengakui, dalam beberapa bulan terakhir ini, pihaknya mendapatkan laporan terkait kasus kekerasan dan pelecehan seksual sebanyak 6 kasus.

Komnas HAM saat ini ingin berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan aparat kepolisian untuk memberantas kasus pelecehan dari Bumi Serambi Madinah.

Heri meminta pemerintah daerah maupun kepolisian untuk menyediakan personel perempuan dalam penyidikan kasus kekerasan dan pelecahan seksual di Gorontalo.

"Dalam penyidikan kasus kekerasan dan pelecehan seksual, harusnya ada penyidik dari perempuan yang mengerti karakter perempuan sebagai korban. Itu yang kami minta ke aparat penegak hukum," tandasnya. 

Komnas HAM RI Nilai Penegakan Hukum Kasus Kekerasan di Gorontalo Belum Maksimal

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI menilai penegakan hukum terkait kasus kekerasan seksual di Gorontalo belum maksimal. 

Menurut Heri, belum maksimalnya penegakan hukum terkait kasus tersebut karena adanya kelambanan dari kepolisian dalam menangani tindal pidana kekerasan seksual di Gorontalo. 

"Belum maksimal, termungkin dari pengaduan itu, ada kelambanan dari Polda, Polres, hingga Polsek," ujar Heri saat ditemui di Hotel Aston Gorontalo, Jumat (31/5/2024). 

Selain adanya kelambanan dari pihak kepolisoan, Heri juga menilai, belum maksimalnya penegakan hukum terkait kekerasan seksual di Gorontalo dikarenakan adanya persekusi terhadap korban. 

Dua alasan itu yang dinilai oleh Komnas HAM RI sangat memprihatinkan. Sebab, keadilan bagi korban musti diutamakan.

Bagaimana tidak, jika keadilan bagi korban tidak ditegakkan dengan seadil-adilnya, bakal menjadi trauma berkepanjangan. 

"Ini sangat memprihatinkan. Karena keadilan bagi korban itu musti ditegakkan dengan seadil-adilnya," tegas Komisioner Perlindungan Komnas HAM itu. 

Selain itu, Komnas HAM RI juga menyoroti terkait tindak pidana kekerasan seksual di Gorontalo yang berujung damai antara si korban dengan pelaku. 

Bagi Heri, hal tersebut tidak memiliki peraturan dalam perundang-undangan. Dalam tindak pidana kekerasan seksual tak adanya kata damai atau restorative justice. 

"Di dalam konteks undang-undang tindak pidana kekerasan seksual itu tidak ada istilah damai, tidak ada itu restorative justice," imbuhnya. 

Heri menilai, bahwa istilah damai dan restorative justice dalam kasus kekerasan seksual di Gorontalo sering dilakukan oleh aparat kepolisian dalam penanganannya. 

Kendati, perilaku mendamaikan dalam kasus kekerasan seksual tak diperbolehkan dalam perundang-undangan. 

Kasusnya musti berjalan sebagaimana laporan yang telah dilayangkan oleh korban kepada pihak kepolisian. 

"Itu gak boleh, harusberjalan kasusnya. Meskipun kedua belah pihak sudah berdamai," tandasnya. 

Aktivis Perempuan Gorontalo, Safira Rumampuk menceritakan, salah satu kasus kekerasan seksual yang pernah dibungkam Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) terjadi di salah satu kampus Gorontalo. 

Hal ini terungkap setelah Safira menceritakannya di Tribun Podcast, pada Rabu (29/5/2024) lalu. 

Safira mengatakan, kasus kekerasan perempuan di kampus Gorontalo banyak terjadi, namun tidak terungkap ke publik.

Alasan tidak terungkap adalah satgas PPKS yang dibentuk oleh kampus itu sendiri. Menurut Safira, satgas bukan menjadi tempat pelaporan kekerasan perempuan.

Satgas dinilai menjadi objek mediasi antara pelaku dan korban. Hal ini kata Safira,berkaca pada kasus sebelumnya yang ia lihat.

"Ada di salah satu kampus di Gorontalo terjadi kekerasan, kemudian korban ini melapor ke satgas, kemudian satgas berupaya melakukan mediasi," ungkapnya. 

"Tidak usah saja, kita damai saja, nanti setelah ini, pelaku akan di ini dan sebagainya," ucap Safira menirukan satgas ketika melayani korban kekerasan. 

Safira menyayangkan sikap oknum Satgas PPKS Kampus di Gorontalo itu, yang malah melakukan mediasi terhadap korban dan pelaku.

Seharusnya Satgas PPKS melakukan upaya hukum terhadap pelaku dan melindungi korban.

"Kami khawatir satgas ini justru menjadi objek mediasi antara pelaku dan korban," ucap Safira. 

Rektor UNU Gorontalo Bantah Tudingan Pelecehan

Rektor UNU Gorontalo akhirnya buka suara soal dugaan pelecehan terhadap para pegawainya.

Melalui kuasa hukumnya, Rahmat Huwoyon, Rektor UNU Gorontalo membantah tudingan pelecehan.

Rahmat menyebut semua tuduhan tidak benar dan hanya kesalahanpahaman.

"Hal ini hanyalah sebuah kesalahpahaman yang terjadi di lingkungan kerja dan patut untuk diluruskan kebenarannya," papar Rahmat dalam konferensi pers pada Rabu (1/5/2024).

Ia berharap konflik diselesaikan secara kekeluargaan guna menjaga nama baik rektor dan kampus. Juga memperhatikan perasaan keluarga dari kedua belah pihak.

"Mengingat kasus tersebut sangatlah sensitif dan berdampak cukup besar," tuturnya.

Menurut Rahmat, segala pemberitaan membuat Rektor ketiga UNU Gorontalo itu mengalami trauma mendalam.

"Berpengaruh pada klien kami dan keluarga, yang tentulah berpengaruh pada hubungan kekerabatan, teman sejawat, popularitas klien kami sebagai seorang Akademisi, dengan tudingan sang predator kaum hawa," ungkapnya.

Namun, Rahmat menegaskan pihaknya akan menghormati proses-proses hukum.

"Baik terkait aduan ke BP2UNUGO dan aduan ke pihak kepolisian Polda Gorontalo," tandasnya. (*)

 

Ikuti Saluran WhatsApp TribunGorontalo untuk informasi dan berita menarik lainnya

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved