Putusan MK

Pengamat Gorontalo: Dissenting Opinion dalam Sidang Putusan MK Bagian Kemajuan Hukum Indonesia

Siddiq Lasaleng, Pengamat Hukum di Gorontalo menilai perbedaan pendapat (dissenting opinion) dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bagian dari kemaju

Penulis: Andika Machmud | Editor: Fadri Kidjab
TribunGorontalo.com
Siddiq Lasaleng, pengamat hukum Gorontalo 

TRIBUNGORONTALO.COM, Gorontalo – Siddiq Lasaleng, Pengamat Hukum di Gorontalo menilai perbedaan pendapat (dissenting opinion) dalam sidang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bagian dari kemajuan hukum di Indonesia.

Menurutnya, MK belum pernah memiliki perbedaan pendapat mengenai sengketa hasil pemilihan presiden (pilpres) pada periode sebelumnya.

Sehingga ia menganggap dissenting opinion mengindikasikan hukum di Indonesia berkembang ke arah lebih baik.

Selain itu, Siddiq menyoroti perbedaan pendapat masyarakat adalah hal lumrah.

"Semua bisa berpendapat karena itu dijamin oleh Undang-Undang Dasar, tetapi kita semua juga tetap harus menghormati putusan MK," ungkapnya kepada TribunGorontalo.com, Selasa (23/04/2024).

Siddiq menjelaskan jika masyarakat harus mempercayakan masalah sengketa hasil Pilpres kepada MK.

Putusan MK saat ini, ungkap Siddiq, adalah sebuah perkara yang dapat didiskusikan dan dipelajari.

Meski bagi Siddiq pada awalnya ketentuan pasangan Cawapres 02, Gibran Rakabuming Raka sudah ganjil. Namun semua pihak disebut seharusnya menghormati keputusan MK.

"Seharusnya pada awalnya Gibran tidak bisa dicalonkan sebagai presiden. Karena dalam memutus perkara, hakim tidak bisa memutus perkara terhadap dirinya sendiri atau keluarganya, yang di mana saat itu hakim memutus perkara punya hubungan keluarga," terangnya.

Terlepas dari kontroversi dari MK yang bisa meloloskan Gibran sebagai Cawapres, Siddiq menilai jika hakim MK saat ini telah menjalankan tupoksi mereka.

"Perlu digaris bawahi bahwa MK bukanlah Mahkamah Kalkulator yang menghitung ulang hasil yang telah ada, tetapi melakukan sidang untuk hasil dari pemilihan dengan bukti yang ada dalam persidangan," tandasnya.

Baca juga: BREAKING NEWS: Oknum Dosen UNG Gorontalo Dilaporkan Pacarnya Atas Tuduhan Pelecehan

MK Tolak Gugatan Anies-Muhaimin

Sidang Putusan PHPU Pilpres 2024, di Gedung MK RI, Jakarta, Senin (22/4/2024). MK menolak gugatan sengketa pilpres yang diajukan oleh pemohon I, yakni kubu paslon I Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.
Sidang Putusan PHPU Pilpres 2024, di Gedung MK RI, Jakarta, Senin (22/4/2024). MK menolak gugatan sengketa pilpres yang diajukan oleh pemohon I, yakni kubu paslon I Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. (Tribunnews.com/Chaerul Umam)

Diberitakan sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menolak permohonan pasangan capres-cawapres Anies-Muhaimin.

Menurut Ketua MK Suhartoyo, permohonan Anies-Muhaimin tidak beralasan secara hukum.

"Dalam pokok permohonan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan di ruangan sidang MK, Senin (22/4/2024).

Setidaknya tiga hakim konstitusi berbeda pendapat mengenai hasil putusan MK hari ini. Mereka adalah Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat.

"Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi a quo, terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari tiga orang hakim konstitusi, yaitu hakim konstitusi Saldi Isra, hakim konstitusi Enny Nurbainingsih, dan hakim konstitusi Arief Hidayat," katanya.

Saldi Isra, dalam pertimbangannya menyebutkan, bahwa terdapat beberapa kekosongan hukum dalam menentukan putusan sesuai dengan dalil yang diajukan oleh pemohon.

Ia lantas mencontohkan soal tidak adanya aturan hukum yang jelas mengenai bagaimana seharusnya seorang presiden bertindak dalam memberikan dukungan dalam kontestasi Pilpres.

Lantaran menurutnya, terdapat kemungkinan adanya kamuflase yang dilakukan presiden, antara kepentingan negara dengan kepentingan pribadi.

Namun, mengenai hal tersebut, Saldi mengatakan bahwa tidak ada aturan yang baku untuk memberikan penilaian.

Saldi menambahkan, dirinya juga tidak bisa menutup mata tentang adanya pembagian bansos yang intens digelar menjelang Pemilu dan adanya keterlibatan menteri aktif dalam proses kampanye.

Saldi Isra: Seharusnya MK Lakukan Pemungutan Suara Ulang
Setelah membacakan pertimbangan yang ada, Saldi mengatakan ada dua persoalan yang menjadi perhatiannya.

Yakni persoalan mengenai penyaluran dana bansos yang dianggap menjadi alat untuk memenangkan salah satu peserta pemilu presiden dan wakil presiden.

Kedua, persoalan mengenai keterlibatan aparat negara, pejabat negara, atau penyelenggara di sejumlah daerah.

Ia menegaskan, bahwa dalil mengenai politisasi bansos hingga mobilisasi aparatur negara atau penyelenggara negara itu adalah beralasan menurut hukum.

Sehingga, menurutnya, MK seharusnya melakukan pemungutan suara ulang di beberapa daerah, demi menjaga integritas penyelenggaraan Pemilu yang jujur dan adil.

"Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, dalil pemohon berkenaan dengan politisasi bansos dan mobilisasi aparat atau aparatur negara, penyelenggara negara adalah balasan menurut hukum."

"Oleh karena itu, demi menjaga integritas penyelenggaraan Pemilu yang jujur dan adil, maka seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk melakukan pemungutan suara ulang di beberapa daerah, sebagaimana disebut dalam pertimbangan hukum di atas, terima kasih," jelas Saldi saat membacakan dissenting opinion.

Sebelumnya, Saldi Isra dan Arief Hidayat termasuk dalam tiga hakim yang mengungkapkan kejanggalan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat minimal usia capres-cawapres.

Sementara itu, satu hakim lainnya adalah Suhartoyo. Mereka bertiga menyatakan pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam putusan 90 itu.

Adapun, dalam persidangan, sejumlah hal disoroti, seperti bansos yang disebut dipolitisasi untuk kepentingan elektoral paslon nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Kemudian, permasalahan dalam putusan 90 yang menjadi karpet merah Gibran maju sebagai cawapres di umur 36 tahun, juga terkait intervensi lembaga kepresidenan.

Namun, Hakim menilai, bahwa petitum dalam gugatan yang dilayangkan oleh Anies-Muhaimin tersebut tidak dapat dibuktikan di persidangan.

Sebagai informasi, putusan yang dibacakan ini hanyalah putusan atas permohonan yang diajukan Anies-Muhaimin.

Di mana artinya, masih ada permohonan dari paslon nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD yang akan dibacakan oleh hakim MK.

Soal gugatan Sengketa Pilpres ini, Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud sama-sama meminta agar Prabowo-Gibran didiskualifikasi, dan digelar pemungutan suara ulang.

Namun, Anies-Muhaimin juga memasukkan petitum alternatif, yakni diskualifikasi hanya untuk Gibran.

Pasalnya, Gibran dianggap tidak memenuhi syarat administrasi karena KPU RI memproses pencalonan Gibran menggunakan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023.

 

(TribunGorontalo.com/Tribunnews.com)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved