Kisah Sedih Santriwati Daarul Khairat, Sebelum Berpisah dengan Orang Tuanya

Pesantren 10 hari yang digelar Rumah Quran Daarul Khairat Kota Gorontalo menyisakan kisah sedih diantara para santri dan orang tua wali. 

Penulis: Husnul Puhi |
TribunGorontalo.com
Santriwati merangkul ibunya, saat menyiapkan bekal untuk mengikuti pesantren 10 hari di Rumah Qur'an Daarul Khairat 

TRIBUNGORONTALO.COM, Gorontalo - Pesantren 10 hari yang digelar Rumah Quran Daarul Khairat Kota Gorontalo menyisakan kisah sedih diantara para santri dan orang tua wali. 

Selepas dibukanya program pesantren 10 hari oleh pembina dan direktur Daarul Khairat, para santri dan orang tua wali dipersilahkan untuk membereskan dan mempersiapkan barang-barang yang bakal anak mereka gunakan selama mondok tersebut.

Dari pantauan TribunGorontalo.com, saat pesantren 10 hari ini dibuka, terdapat santriwati yang bersedih, sebelum berpisah dengan orang tuanya.

Diketahui, Santriwati tersebut bernama Cahya Madinatul Ilmi Madaniyah (11), merupakan anak dari Robin Daud dan Femi Hiola.

Sebelum berpisah dengan orang tuanya, Cahya menitikkan air matanya.

Menurut Cahya, itu karena Ia tidak bisa berkomunikasi dan bertemu dengan orang tuanya selama kegiatan pesantren tersebut.

Cahya menggunakan gaun putih dan berjilbab hitam itu memeluk erat ibunya.

Ibunya, Femi Hiola hanya bisa mengusap air mata dari anaknya tersebut dan mengelus bagian kepalanya.

Menurut Ayahnya, Cahya adalah sosok anak kecil yang sudah bisa hidup mandiri.

"Kami biasanya meninggalkan Cahya sendirian dirumah, ya paling ada tetangga yang menjaganya, karena saya bertugas di Kabupaten Gorontalo Utara," ungkap Robin Daud.

Dalam kesehariannya, pria 56 tahun tersebut mengaku bertemu dengan anaknya sangat singkat. Karena Robin berangkat kerja dari Pukul 07.00 Wita dan kembali ke rumahnya pada sore hari.

"Jadi saya bertemu dengannya hanya pada waktu sebelum berangkat kerja, dan pada saat pulang kerja," lanjut dia.

Kesedihan dari seorang Cahya tersebut, menurut Robin merupakan situasi yang berbeda.

Karena biasanya Robin meninggalkan anaknya tersebut hanya pada waktu jam kerjanya.

"Saat ini berbeda, dia tidak bisa berkomunikasi dengan kami, apalagi bertemu, makanya dia sampai sedih seperti itu," ujarnya.

Kegiatan pesantren 10 hari ini, kata dia, merupakan kegiatan yang bisa mendidik anak untuk lebih mandiri.

Menurutnya, kegiatan tersebut adalah cara satu-satunya untuk mendidik anak dalam hal ketagihan perkembangan teknologi.

"Banyak anak-anak dini yang sudah menjadi hafidz atau hafidzah, namun dikarenakan adanya perkembangan teknologi saat ini, maka banyak hapalan-hapalan dari mereka yang terganggu," tegas Robin.

Baginya, pesantren 10 hari itu sangat singkat. Ia berharap di kemudian hari bisa ditambahkan waktunya.

"Ini kan masih kegiatan uji coba, tadi saya juga sudah berbicara dengan pihak direktur, agar kegiatan ini di kemudian hari bisa ditambahkan terkait waktunya, karena kegiatan ini sangat bagus bagi anak-anak di usia dini," ucapnya. (*)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved