Cerita 7 Ketua Umum PPP: Dari Syafaat hingga Suharso Monoarfa
Partai lama di Era Orde Baru bersama Golkar dan PDI. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan salah satu partai politik lama.
TRIBUNGORONTALO.COM, Jakarta - Partai lama di Era Orde Baru bersama Golkar dan PDI. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan salah satu partai politik lama yang hingga kini masih eksis di Indonesia.
Berdiri sejak 5 Januari 1973, PPP menginjak usia hampir 5 dekade di tahun 2022. PPP lahir dari penggabungan empat partai berbasis Islam, yakni Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).
Pendirian partai ini dipelopori oleh sejumlah tokoh, yakni Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Idham Chalid, Ketua Umum Parmusi Mohammad Syafaat Mintaredja, Ketua Umum PSII Anwar Tjokroaminoto, Ketua Umum Perti Rusli Halil, dan Ketua Kelompok Persatuan Pembangunan di DPR Haji Mayskur.
Dari para tokoh itu, Mohammad Syafaat Mintaredja terpilih sebagai Ketua Umum PPP yang pertama. Setelahnya, regenerasi di tubuh PPP terus berjalan hingga kini dipimpin oleh Suharso Monoarfa. Berikut profil ketua umum PPP dari masa ke masa:
1. Mohammad Syafaat Mintaredja
Sebelum menjadi Ketua Umum PPP, Syafaat lebih dulu duduk di kursi pemerintahan di era Presiden Soeharto. Selama Juni 1968-September 1971, ia menjabat Menteri Penyelenggaraan Hubungan antara Pemerintah dengan MPR, DPR-GR, dan DPA.
Lalu, masih di era Soeharto, Syafaat ditunjuk sebagai menteri sosial selama September 1971-Maret 1978.
Jabatan Ketua Umum PPP diemban Syafaat selama 5 tahun yakni 5 Januari 1973 hingga 1978. Adapun Syafaat meninggal dunia pada 20 Oktober 1984 dalam usia 62 tahun.
2. Djaelani Naro
Terhitung sejak 1978, kursi ketua umum PPP diisi oleh Djaelani Naro atau lebih dikenal dengan John Naro. Sebelumnya, Naro merupakan wakil ketua DPR di era Presiden Soeharto.
Naro juga sempat menjadi wakil ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) selama 1988-1998.
Naro menjabat sebagai Ketua Umum PPP selama 2 periode yakni hingga 1989.
Pada 28 Oktober 2000, Naro mengembuskan napas terakhirnya dalam usia 71 tahun.
3. Ismail Hassan
Matareum Ismail Hassan Matareum menjabat sebagai Ketua Umum PPP selama 9 tahun yakni 1989-1998.
Sebelumnya, ia pernah menjabat ketua umun Himpunan Mahasiswa Islam pada 1957-1960. Ia juga pendiri Partai Demokrasi Islam.
Saat menjadi Ketua Umum PPP, Ismail juga menjabat wakil ketua MPR selama Oktober 1992-Oktober 1997.
Ismail tutup usia pada 2 April 2005 dalam usia 76 tahun.
4. Hamzah Haz
Dari Ismail, kursi ketua umum PPP beralih ke Hamzah Haz. Ia menjabat selama 1998-2007.
Sebelum itu, Hamzah sudah malang melintang di Parlemen. Ia menjadi anggota DPR RI selama 6 periode atau 28 tahun yakni sejak Oktober 1971 hingga Oktober 1999.
Selama kariernya di DPR, Hamzah pernah ditunjuk sebagai wakil ketua DPR RI bidang ekonomi dan keuangan hanya untuk 22 hari yakni selama 6-28 Oktober 1999.
Di era pemerintahan Presiden BJ Habibie, Hamzah dipercaya menjadi menteri investasi.
Namun, hanya setahun menjabat, Hamzah mengundurkan diri pada Mei 1999. Kala itu, Hamzah ingin fokus menjadi juru bicara kampanye PPP.
Ia mematuhi kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang melarang menteri berkampanye.
Di era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Hamzah dipercaya menjadi Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan yakni selama Oktober 1999 sampai November 1999.
Karier Hamzah makin moncer hingga terpilih sebagai wakil presiden RI ke-9, mendampingi Presiden Megawati Soekarnoputri.
Jabatan itu Hamzah emban selama 26 Juli 2001 sampai 20 Oktober 2004.
5. Suryadharma Ali
Dari Hamzah Haz, jabatan ketua umum PPP beralih ke Suryadharma Ali. Ia menjabat sejak 3 Februari 2007. Sebelum itu, Suryadharma sempat menjadi anggota DPR RI selama 1-22 Oktober 1999.
Suryadharma juga lebih dulu dikenal sebagai Menteri Koperasi dan Usaha Kecil di era Kabinet Indonesia Bersatu II pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Oktober 2004-Oktober 2009.
Ketika menjadi ketua umum PPP, Suryadharma juga menjabat sebagai Menteri Agama di Kabinet Indonesia Bersatu II.
Jabatan itu ia emban sejak Oktober 2009. Di penghujung masa jabatannya, Suryadharma tersangkut kasus korupsi dana haji.
Dia pun mundur sebagai menteri sekaligus ketua umum PPP. Suryadharma semula divonis 6 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Namun, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukumannya menjadi 10 tahun.
6. Muhammad Romahurmuziy
Muhammad Romahurmuziy atau akrab disapa Romy terpilih sebagai ketua umum PPP pada 20 Mei 2016.
Saat itu usianya masih tergolong muda yakni 42 tahun. Tiga tahun menjabat sebagai ketum, Romy terjerat kasus suap jual beli jabatan di Kementerian Agama.
Ia mundur dari kursi ketua umum PPP pada 16 Maret 2019. Semula, Romy divonis 2 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor. Namun, oleh Pengadilan Tinggi hukumannya dipangkas menjadi setahun.
Romy pun telah menghirup udara bebas pada 29 April 2020.
Sebelum memimpin PPP, Suharso merupakan anggota DPR RI masa jabatan 2004-2009.
Di era Presiden SBY, ia pernah menjabat sebagi Menteri Perumahan Rakyat. Namun, jabatan itu Suharso emban hanya 2 tahun yakni 22 Oktober 2009-17 Oktober 2011.
Pada pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla, Suharso ditunjuk menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden.
Setelahnya, di periode kedua Jokowi, Suharso dipercaya menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas). Jabatan itu masih Suharso emban hingga sat ini.
Sepeninggal Romy yang tersandung kasus korupsi, Suharso menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum PPP.
Ia terpilih sebagai ketum definitif melalui Muktamar IX PPP, Desember 2020. Suharso ditunjuk sebagai Ketua Umum PPP masa jabatan 2020-2025.
Di Balik Lambang Kabah
PPP merupakan salah satu partai politik di Indonesia.
Pembentukan PPP berawal dari fusi atau penyederhanaan dari empat partai keagamaan, yakni Nahdlatul Ulama (NU), Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Parmusi.
Penggabungan empat partai keagamaan ini bertujuan untuk menyederhanakan sistem kepartaian di Indonesia dalam menghadapi pemilu Orde Baru pada 1973.
Awal berdiri Presiden Soekarno pada 1959 menerbitkan dekrit pada 5 Juli 1959 akibat Konstituante tidak mampu menyusun konstitusi untuk mengganti Undang-Undang Dasar 1945.
Selain itu, sepanjang 1950-1959 terjadi berbagai kemelut politik yang turut membuat kondisi Indonesia tidak stabil. Setelah menerbitkan dekrit dan membubarkan Konstituante, Presiden Soekarno lantas menerapkan Demokrasi Terpimpin.
Pada 1960, jumlah partai politik di Indonesia dikurangi dari 40 menjadi 12.
Pada saat yang bersamaan, pemerintah membubarkan Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) karena terlibat dalam Pemberontakan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Setelah Masyumi dibubarkan, partai bercorak Islam saat itu tinggal Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Parmusi.
Kekuasaan Soekarno dan Orde Lama berakhir pada 1967, kemudian digantikan oleh Soeharto yang memulai masa Orde Baru.
Pada Mei 1967, Soeharto mengusulkan fusi partai-partai yang dibagi menjadi dua kelompok.
Keinginan Soeharto untuk melakukan fusi partai dikemukakan lewat pidato di Kongres XII Partai Nasional Indonesia, 11 April 1970.
Usulan Soeharto ditolak oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Idham Chalid.
Chalid mengatakan NU tidak pernah memiliki keinginan untuk memfusikan diri dengan partai-partai Islam lainnya.
Setelah Pemilu 1971 dilangsungkan, Golkar mendapat perolehan suara sebesar 62,8 persen.
Sedangkan dari empat partai Islam, hanya NU yang memperoleh suara terbanyak, yakni sebesar 18,6 persen.
Dari hasil Pemilu 1971, pemerintah memutuskan untuk membagi partai ke dalam empat kelompok, yaitu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Golkar, golongan demokrasi pembangunan, dan persatuan pembangunan.
Akhirnya Partai NU, PSII, Perti, dan Parmusi bergabung ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan dideklarasikan pada 5 Januari 1973.
Pada awal berdiri, PPP menerapkan asas Islam dengan lambang Kabah.
Namun, pada 1984, PPP menggunakan asas Negara Pancasila sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan sistem politik yang berlaku saat itu, ini disebabkan karena adanya tekanan politik dalam kekuasaan Orde Baru.
Selanjutnya PPP secara resmi menggunakan asas Pancasila dengan lambang bintang dalam segi lima berdasarkan Muktamar I PPP tahun 1984.
PPP kembali menggunakan asas Islam dengan lambang Kabah sejak berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto pada 1998. Hal itu ditetapkan berdasarkan kesepakatan dalam Muktamar IV pada akhir 1998.
PPP berkomitmen untuk terus menjaga keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila, meskipun partai menggunakan asas Islam.
Kiprah PPP di Pemilu Sejak berdiri pada 1973, PPP sudah 10 kali mengikuti Pemilu. PPP pertama kali mengikuti Pemilu pada 1977.
Sebagai partai baru, PPP meraih 18.743.491 suara (29.29 persen). Dengan hasil itu, mereka mendapatkan 99 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Lalu, pada Pemilu 1982, PPP mendapatkan 20.871.880 suara (27.78 persen). Kemudian perolehan kursi di DPR menurun menjadi 94.
Pada Pemilu 1987, perolehan suara PPP menurun yakni 13.701.428 (15.96 persen). Hal itu membuat jumlah kursi mereka di DPR menurun menjadi 61.
Kemudian pada Pemilu 1992, jumlah perolehan suara PPP naik menjadi 16.624.647 (17 persen).
Perolehan kursi mereka di DPR bertambah menjadi 62. Pada Pemilu 1997, perolehan suara PPP naik cukup besar yakni mencapai 25.340.028 (22.43 persen).
Hal itu dikarenakan para pendukung Megawati Soekarnoputri di Partai Demokrasi Indonesia mengalihkan suara mereka ke PPP akibat konflik internal dengan PDI kubu Suryadi.
Jumlah kursi mereka di DPR pun bertambah menjadi 89. Pada Pemilu 1999, perolehan suara PPP kembali menurun menjadi 11.329.905 (10.71 persen) dengan 58 kursi di DPR. Perolehan suara PPP pada Pemilu 2004 menurun menjadi 9.248.764 (8.15 persen).
Namun, jumlah kursi mereka di DPR tetap seperti pada Pemilu 1999.
Jumlah perolehan suara PPP pada Pemilu 2009 kembali menurun menjadi 5.533.214 (5.32 persen), dengan 38 kursi di DPR.
Lantas, pada Pemilu 2014, perolehan suara PPP naik menjadi 8.157.488 (6.53 persen) dan 39 kursi di DPR.
Pada Pemilu 2019, perolehan suara PPP menurun menjadi 6.323.147 (4.52 persen) dengan 19 kursi di DPR.
Visi dan Misi PPP Visi
Terwujudnya masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT dan negara Indonesia yang adil, makmur, sejahtera, bermoral, demokratis, tegaknya supremasi hukum, penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), serta menjunjung tinggi harkat-martabat kemanusiaan dan keadilan sosial yang berlandaskan kepada nilai-nilai ke-Islaman.
Misi
- PPP mengedepankan peran agama sebagai panduan moral dan sumber inspirasi dalam kehidupan negara dengan hubungan yang bersifat simbiotik, sinergis serta saling membutuhkan dan memelihara. Hal ini diwujudkan dengan sikap saling toleransi antar-umat beragama.
- PPP terfokus dalam aspek penguatan ke-lembangaan, mekanisme dan budaya politik yang ber-demokratis dan ber-akhlaqul karimah demi meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), serta menghargai kebebasan berekspresi, berpendapat dan berorganisasi.
- PPP lebih menekankan pada konsep ekonomi kerakyatan. Menegakkan supremasi hukum akan selalu dijunjung tinggi oleh PPP dengan ikut serta dalam upaya pemberantasan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), penguatan institusi dan instrumen penegak hukum serta selalu ikut aktif dalam pembaharuan hukum nasional.
- PPP selalu berkomitmen untuk terus mewujudkan kehidupan sosial yang religius dan bermoral dengan menghilangkan budaya kekerasan dan mengembangkan nilai-nilai sosial budaya. Kemudian dalam bidang pengetahuan dan keterampilan, PPP ikut membantu demi terbentuknya manusia yang berkualitas dan menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama dalam pembangunan kesejahteraan.
Struktur kepengurusan
Strukrut kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PPP periode 2020–2025 adalah sebagai berikut:
Ketua Umum: Suharso Monoarfa
Sekretaris Jenderal: Muhamad Arwani Thomafi
Bendahara Umum: Surya Batara Kartika
Wakil Ketua Umum:
Zainut Tauhid Sa'adi
Arsul Sani
Ermalena
Amir Uskara
Musyaffa Noer
Wakil Sekretaris Jenderal:
Qonita Lutfiyah
Idy Muzayyad
Wakil Bendahara Umum: Lukman Yani
Bidang Fungsional:
Achmad Baidowi
Jafaruddin Harahap
Rendhika Deniardy Harsono
M Qoyyum Abdul Jafar
Saifullah Tamliha
Nyoman Anjani
Bidang Isu Strategis:
Habib Hasan Mulachela
Warti'ah
Iliza Sa'adudin Jamal
Joko Purwanto
Rina Fitri
Syamsurizal
Arik Heru Maryati
Ema Umiyyatul Chusna
Gus Rojih Maimoen
Andi Surya
Anggi A Paturusi
Irene Rusli Halil
Bidang Pemenangan Dapil:
Hilman Ismail Metareum
Komarudin Thaher
N Fitri Ani Gayo
Dewi Arimbi
Sarah Larasati
Habib Farhan Al Amri
Syarifah Amelia
Dony Ahmad Munir
Yunus Razak
Ainul Yaqin
Hakim Muzadi
Nadia Hasna Humaira
Hendra Kusumah
Chairunnisa
Audy Joinaldy
Yudhistira Raditya Soesatyo
Adika Lubis (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Profil Ketua Umum PPP: Dari Syafaat Mintaredja hingga Suharso Monoarfa"