Khazanah Islam
Sunah Memperbarui Wudu dalam Kondisi Suci, Simak Dalil dan Keutamaannya
Wudu merupakan kegiatan membersihkan diri yang dikerjakan umat islam sebelum melaksanakan ibadah salat maupun membaca alquran.
TRIBUNGORONTALO.COM – Wudu merupakan kegiatan membersihkan diri yang dikerjakan umat islam sebelum melaksanakan ibadah salat maupun membaca alquran.
Wudu sangat menentukan sah atau tidaknya salat. Oleh karena itu, wudu yang batal perlu diulang.
Namun, ternyata umat islam disunahkan memperbarui wudu atau disebut Tajdidul wudhu.
Tajdidul wudhu adalah praktik berwudu kembali meskipun wudu sebelumnya masih ada dan belum batal.
Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa hukum tajdidul wudhu adalah sunah. Namun, dalam salah satu riwayat mazhab Imam Ahmad disebutkan bahwa tajdidul wudu tidak memiliki keutamaan khusus.
Dalam mazhab Syafii, kesunnahan tajdidul wudu hanya berlaku jika wudhu pertama telah digunakan untuk shalat, meskipun hanya shalat sunah.
Adapun dalam mazhab Hanafi, tajdidul wudhu disyaratkan adanya pemisah antara wudhu pertama dan wudu berikutnya, seperti dengan duduk sejenak atau melaksanakan shalat.
Jika tidak ada pemisah, maka hukumnya makruh, meskipun sebagian ulama Hanafiyah berpendapat tidak sampai makruh meski tanpa pemisah.
Sementara itu, mazhab Maliki mensyaratkan agar wudhu pertama telah digunakan untuk ibadah, tidak terbatas hanya pada shalat, agar kesunahan tajdidul wudu dapat diperoleh.
Baca juga: Bacaan Doa Mohon Ampunan Allah SWT, Hati Lebih Tenang dan Jiwa Damai
Dalil yang menjadi landasan kesunnahan tajdidul wudu di antaranya adalah hadits:
مَنْ تَوَضَّأَ عَلَى طُهْرٍ كُتِبَ لَهُ عَشْرُ حَسَنَاتٍ
Artinya, "Siapa yang berwudu dalam keadaan masih suci, Allah akan menuliskan baginya sepuluh kebaikan," (HR At-Tirmidzi).
Selain hadits tersebut, para Khulafaur Rasyidin dahulu senantiasa berwudu untuk setiap salat.
Sayyidina Ali ra. bahkan melakukannya sambil membaca firman Allah Ta'ala: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian berdiri untuk menunaikan salat maka basuhlah wajah kalian...” (QS. al-Ma'idah: 6).
Hal itu karena pada masa awal Islam wudhu memang diwajibkan setiap kali hendak salat.
Kewajiban tersebut kemudian dinasakh (dihapus), namun hukum asal anjurannya tetap berlaku. (Lihat: Kementerian Wakaf, Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, [Kuwait, Darus Salasil: 1427 H], juz X, hlm. 156).
Dalam mazhab Syafii, persoalan tajdidul wudhu (memperbarui wudu) memiliki perdebatan yang dirangkum menjadi lima pendapat. Abdurrahman Ba'alawi dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin merangkum lima pendapat dari Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab sebagai berikut:
Dalam hal dianjurkannya tajdidul wudhu terdapat lima pendapat. Pendapat yang paling sahih adalah setelah wudu pertama digunakan untuk shalat, meskipun hanya salat sunah.
Pendapat kedua, setelah salat wajib. Pendapat ketiga, setelah melakukan sesuatu yang disunahkan berwudhu. Pendapat keempat, setelah salat, sujud, atau membaca mushaf. Pendapat kelima, secara mutlak tanpa sebab."
Banyak umat Muslim di Indonesia, terutama di Jawa, berniat li raf’il hadats (untuk menghilangkan hadas) ketika berwudu. Niat ini umum diajarkan dan tercantum dalam kitab-kitab Fasholatan.
Namun, niat li raf’il hadats tidak bisa digunakan dalam tajdidul wudhu karena orang yang melakukannya sebenarnya tidak sedang berhadas. Mereka masih sah melaksanakan shalat tanpa harus memperbarui wudu.
Imam al-Bajuri menjelaskan hal ini:
“Tempat niat menghilangkan hadas adalah pada wudu selain wudu tajdid, karena wudu tajdid bukan untuk menghilangkan hadas melainkan untuk memperbarui wudu. Maka, orang yang memperbarui wudu tidak boleh berniat menghilangkan hadas, tidak pula berniat bersuci dari hadas. Demikian juga ia tidak boleh berniat istibahah, karena ia sudah boleh melaksanakan shalat tanpa wudu yang diperbarui.”
Niat yang Tepat untuk Tajdidul Wudhu
Niat yang paling tepat untuk tajdidul wudhu adalah fardhal wudhu, ada’al wudhu, atau cukup wudu saja.
Contohnya, dengan mengucapkan nawaitul fardhal wudhu lillahi ta’ala. Syekh Nawawi al-Bantani mempertegas hal ini:
"Ketiga, yaitu berniat dengan niat fardhal wudhu, ada’al wudhu, atau wudu saja, meskipun yang berniat adalah seorang anak kecil atau orang yang memperbarui wudu."
Oleh karena itu, tajdidul wudhu dengan niat li raf’il hadats dianggap tidak sah dan tidak akan mendapatkan pahala sunahnya.
Meskipun demikian, sebagian ulama masih membolehkannya dengan alasan qiyas (analogi) pada salat wajib yang diulang.
Kesimpulan
Tajdidul wudhu adalah amalan sunah yang memiliki dasar kuat dari praktik sahabat dan pandangan para ulama.
Amalan ini bertujuan untuk menjaga kesucian diri di hadapan Allah. Poin terpenting dalam melakukannya adalah niat yang tepat karena niatlah yang menentukan sah atau tidaknya ibadah serta perolehan pahalanya.
Dengan memperbarui wudu secara benar, seorang Muslim tidak hanya menyucikan diri secara fisik, tetapi juga memperbarui kesegaran batin dan ketekunan dalam beribadah. Wallahu a’lam.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.